Jakarta
-- Akibat kelangkaan pasokan minyak goreng di tanah air, akhirnya mulai tanggal
28 April 2022 pemerintahan Presiden Joko Widodo melarang ekspor produk minyak
sawit mentah atau crude palm oil
(CPO), minyak sawit merah atau red palm
oil (RPO), palm oil mill effluent
(POME), serta refined, bleached,
deodorized (RBD) palm oil dan used cooking oil untuk batas waktu yang
tidak ditentukan.
Menyikapi
kelangkaan minyak goreng di tanah air usai kebijakan penetapan harga eceran tertinggi
(HET) diberlakukan Ketua DPR RI, Puan
Maharani menegaskan persoalan minyak goreng yang berkepanjangan dapat
berpengaruh terhadap ketertiban umum yang berdampak luas.
“Pelarangan sementara ekspor minyak goreng ini
menunjukkan keberpihakan yang kuat dari pemerintah untuk memprioritaskan
kepentingan rakyat,” tegas Puan. Oleh sebab itu, setiap pelanggaran yang
terjadi akan ditindak dengan tegas. Pemerintah akan tegas menindak siapa saja
yang melanggar keputusan tersebut.
Puan
Maharani juga menjelaskan bahwa pelarangan ekspor minyak sawit ini tentu saja
berdampak sangat besar pada perekonomian global, mengingat Indonesia adalah
negara pengekspor minyak sawit terbesar di dunia.
Tahun
lalu saja (2021) nilai ekspor minyak sawit Indonesia mencapai USD 35,5 Milyar
dari penjualan global 26,9 Juta Ton minyak sawit dengan pasar terbesarnya
adalah China (4,7 Juta Ton), Uni Eropa (4,0 Juta Ton), India (3,03 Juta Ton)
dan Pakistan (1,6 Juta Ton).
Awalnya
dunia berharap Indonesia dapat menjadi stabilisator harga di pasar minyak
goreng dunia yang terganggu akibat pasokan minyak biji bunga matahari dari
Ukraina dan Russia terhenti karena perang dua negara tersebut.
Sedangkan
pemasok besar lainnya adalah negara Kanada yang sayangnya sedang mengalami
gagal panen biji bunga matahari akibat cuaca yang ekstrim.
Cuaca
ekstrim juga mengganggu panen dan produksi subtitusi minyak goreng lainnya yang
berbahan baku dari kacang kedelai asal negara2 Amerika Selatan.
Jadilah
harga minyak sawit naik sejalan dengan kelangkaan minyak biji bunga matahari
tersebut dan harga pasar dunia yang naik menggiurkan ini dimanfaatkan oleh para
usahawan minyak sawit untuk menggenjot ekspor mereka seraya melupakan keamanan
suplai pasar domestik.
Lihat
saja harga CPO yang pada bulan juli 2021 sebesar USD 780 per Ton pada saat ini
menjadi USD 1.600 . Ini adalah masa keemasan minyak sawit.
Akibat
Pelarangan ekspor minyak sawit Indonesia ini terjadi gelombang kekacauan pada
rantai suplai mulai dari rumah tangga, usaha makanan, restaurant hingga industri global khususnya industri turunan yang menggunakan minyak sawit sebagai
bahan bakunya.
Minyak
goreng hilang dari rak rak supermarket Rewe, Aldi, Edeka di Eropa dan Walmart,
Stop & Shop, Safeway Amerika.
Restaurant
dan bisnis makanan mulai dari Inggris, India hingga ke Korea Selatan yang
menggunakan minyak goreng tampak K.O. terkena pukulan telak dua kali yakni :
Pandemi Covid 19 dan langkanya minyak goreng. Perusahaan2 Farmasi dan Sabun
serta jenis perusahaan lainnya yang berbahan baku minyak sawit di China tampak
mengurangi produksinya.
Sebuah
komoditi yang pernah dianggap remeh oleh Uni Eropa dengan cara pelarangan
peredarannya di U.E. saat ini telah nyaris melumpuhkan berbagai bidang usaha
dan perekonomian dunia.
Naiknya
harga minyak goreng mempengaruhi kenaikan disegala sektor dan pada akhirnya
menyumbang angka Inflasi global. Sebagai negara penghasil minyak sawit terbesar
di dunia Indonesia mempunyai potensi penguasaan sumber energi bahan bakar
diluar energi fossil minyak bumi.
Minyak
sawit telah menjadi primadona sumber Biofuel masa depan. Oleh karena itu,
kelangkaan minyak goreng yang terjadi di tanah air dan dunia harus kita anggap
bukan sebagai malapetaka atau ironi negara produsen minyak goreng terbesar,
akan tetapi sebagai pemanasan untuk perbaikan regulasi dan tataniaga sekaligus
tatakelola dari hulu ke hilir pertanian dan industri minyak sawit sang juara
dunia.